A. Pengertian Umur Simpan
Beberapa
definisi tentang umur simpan dan kadaluarsa, antara lain :
- Umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat konsemsi, sedang kondisi produk masih memuaskan pada sifat-sifat : penampakan, rasa-aroma, tekstur, dan nilai gizi (Institut of Food Technologi – IFT, 1974).
- Suatu produk dikatakan berada pada kisaran umur simpannya bila kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (National Food Processor Association, 1978).
- Umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan, dalam kondisi penyimpanan, untuk sampai pada suatu level atau tingkatan degradasi mutu tertentu (Floros, 1993).
- Kadaluwarsa mempunyai arti sebagai sudah lewat ataupun habisnya jangka waktu sebagaimana yang telah ditetapkan dan apabila dikonsumsi, maka makanan tersebut dapat membahayakan bagi kesehatan yang mengkonsumsinya (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Departemen Pendidikan, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007) .
- Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu pangan tidak dapat diterima lagi disebut waktu kadaluwarsa. Bahan pangan disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluarsa, yaitu telah melampaui masa simpan optimumnya (Syarief & Halid, 1993).
B. Regulasi
dan Cara Pelabelan Waktu Kadaluwarsa
Berdasarkan
pengumpulan data peraturan perundang-undangan yang dilakukan, maka didapatkan
beberapa peraturan, baik dalam undang-undang maupun peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yaitu sebagai berikut :
- Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
- Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
- Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
- Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, tanggal 5 Oktober 2004
- Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 180/ Men.Kes/ Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa, tanggal 10 April 1985
- Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.23.0131 tentang Pencantuman Asal Bahan Tertentu, kandungan alkohol, dan Batas Kadaluwarsa Pada Penandaan/Label Obat, Obat tradisional, Suplemen Makanan, dan Pangan, tanggal 13 Januari 2003
Melalui pengumpulan peraturan perundang-undangan tersebut
diatas, dapat diketahui pengaturan tentang pangan sudah cukup banyak.
Akan tetapi, ternyata hanya ada beberapa peraturan saja yang khusus mengatur
mengenai tentang produk kadaluwarsa, yaitu ketentuan yang ada di dalam Undang –
Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu Dan Gizi Pangan. Untuk dapat memberikan
gambaran yang lebih jelas lagi, paparan berikut menjelaskan tentang
keamanan,mutu dan gizi pangan.
Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004
merupakan penjabaran dan pelaksanaan lebih lanjut sebagaimana dimaksud Pasal
12, Pasal 15, Pasal 19, Pasal 23 dan Pasal 29 Undang – Undang Nomor 7 Tahun
1996 tentang Pangan. Peraturan Pemerintah ini terdiri dari delapan bab dengan
54 Pasal, yang secara garis besar mengatur tentang ketentuan umum, keamanan
pangan, mutu dan gizi pangan, pemasukan dan pengeluaran pangan ke dalam dan
dari wilayah Indonesia, pengawasan dan pembinaan, peran serta masyarakat,
ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. Dari 54 Pasal tersebut terdapat
beberapa Pasal yang berkaitan dengan keamanan pangan sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 sampai dengan Pasal 28.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 180/Men.Kes/Per/IV/1985 Tentang Makanan
Daluwarsa, di dalam peraturan ini pengaturan mengenai makanan yang kadaluwarsa
lebih secara rinci dijelaskan bahwa pada label dari makanan tertentu yang diproduksi,
diimpor dan diedarkan harus mencantumkan tanggal kadaluwarsa secara jelas,
karena makanan yang rusak baik sebelum maupun sesudah tanggal daluwarsa
dinyatakan berbahaya untuk dikonsumsi. Dan didalam peraturan ini juga secara
jelas dinyatakan bahwa dilarang untuk mengimpor dan mengedarkan makanan yang
sudah daluwarsa.
Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang perlindungan konsumen (UUPK), memberikan perlindungan kepada setiap
konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha. Aspek hukum perlindungan
konsumen terhadap munculnya usaha makanan yang telah kadaluwarsa dapat dilihat
dari beberapa pasal dalam UUPK Pasal 4 huruf a dan c, Pasal 7 huruf b dan d,
Pasal 8 serta pengaturan mengenai kadaluwarsa ini telah diatur dalam Bab IV
Pasal 8 tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, dinyatakan bahwa
pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang :
- Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan
- Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.
- Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
- Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
- Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
- Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
- Tidak menyantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
- Tidak mengikuti ketentuan secara halal sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan pada label.
- Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat atau isi bersih (netto), komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut kententuan yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat.
- Tidak menyantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
PP No.69
tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Pasal
31 :
- Tanggal, bulan, tahun kadaluwarsa wajib dicantumkan secara jelas
- Pencantuman dilakukan setelah tulisan “Baik digunakan sebelum : .......”
- Untuk produk pangan yang kadaluwarsanya lebih dari 3 bulan, diperbolehkan untuk hanya mencantumkan bulan dan tahun kadaluwarsa saja.
Pasal
28 :
Dilarang memperdagangkan pangan yang sudah melampaui tanggal,
bulan dan tahun kadaluwarsa sebagaimana dicantumkan pada label.
Pasal
29 :
Setiap orang dilarang menukar tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa
pangan yang diedarkan.
Adapun
amandemen tentang Food Labelling Regulation yang dikeluarkan oleh
Codex Alimentarius Commission (CAC) Th 1999 :
Untuk
produk yang kadaluwarsanya kurang dari 3 bulan :
-
wajib
mencantuman tanggal, bulan, tahun kadaluwarsa
- pencantumannya
setelah kata “Best before ..........” diikuti tanggal, bulan, tahun kadaluwarsa
Untuk
produk yang kadaluwarsanya lebih dari 3 bulan :
-
wajib
mencantuman tanggal, bulan, tahun kadaluwarsa
- pencantumannya
setelah kata “Best before end ..........” diikuti tanggal, bulan, tahun
kadaluwarsa
Tujuh
jenis produk pangan yang tidak memerlukan pencantuman tanggal, bulan, tahun
kadaluwarsa :
o
buah,
sayuran segar, kentang yang belum dikupas
o
minuman
mengandung alkohol 10% (v/v)
o
makanan
yang diproduksi untuk dikonsumsi kurang dari 24 jam
o
vinegar
o
garam
meja
o
gula
pasir
o
produk
konvensionary yang bahan bakunya hanya berupa gula + flavor atau gula + pewarna
Umumnya
produsen akan menyantumkan batas kadaluwarsa sekitar dua hingga tiga bulan
lebih cepat dari umur simpan produk yang sesungguhnya . Hal ini dilakukan
dengan tujuan :
- Menghindarkan dampak – dampak yang merugikan konsumen, apabila batas kadaluwarsa itu benar – benar terlampaui.
- Memberikan tenggang waktu bagi produsen untuk menarik produk- produknya yang telah melampaui batas kadaluwarsa dari para pengecer atau tempat penjualan, agar konsumen tidak lagi membeli produk tersebut. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada konsumen seperti keracunan makanan.
Dalam
perdagangan, jangka waktu kadaluwarsa memiliki beberapa istilah. Istilah-
istilah lain yang sering digunakan adalah :
o
“ Baik digunakan sebelum “ (best before)
Memiliki makna bahwa suatu produk
pangan sebaiknya dikonsumsi sebelum tanggal yang tercantum, karena tanggal
tersebut merupakan batas optimal
produsen dapat menjamin kelayakan produk untuk dikonsumsi. Kalimat “baik
digunakan sebelum” umumnya dicantumkan pada produk yang memiliki umur simpan
tinggi, seperti produk-produk konfreksioneri (permen, coklat, chocolate bar dan
minuman beralkohol).
o
“Gunakan
Sebelum” ( use by atu expiry date)
Memiliki makna bahwa produk pangan harus
dikonsumsi maksimal pada tanggal yang tercantum. Tanggal yang tercantum
merupakan batas maksimum produsen dapat menjamin, bahwa produk tersebut belum
rusak dan masih layak untuk dikonsumsi. Setelah tanggal tersebut, diduga
kualitas produk sudah tidak dapat diterima oleh konsumen. Kalimat “Gunakan
sebelum” umumnya dicantumkan pada produk- produk yang mudah rusak dan umur
simpannya pendek, seperti : produk- produk susu (susu segar dan susu cair),
daging, serta sayur- sayuran.
o
“Batas
sebelum penarikan” (pull date)
Merupakan cara lain untuk memberikan informasi
mengenai “gunakan sebelum”. Kalimat “Batas waktu sebelum penarikan” menandakan
tanggal terakhir yang dianjurkan bagi konsumen untuk membeli produk tersebut
sehingga masih mempunyai jangka waktu untuk mengkonsumsinya tanpa produk
tersebut mulai mengalami kerusakan. Setelah tanggal tersebut, suatu produk akan
ditarik dari pengecer dan toko – toko karena dianggap mutunya akan segera
menurun dan jika tidak ditarik akan menimbulkan kerugian bagi konsumen.
o
“Tanggal
dikemas” (pack date)
Merupakan informasi yang berupa tanggal pada
saat produk dikemas, baik pengemasan oleh produsen maupun oleh pengecer. Contoh
produk yang diberikan penyantuman “pack date” adalah minyak sayur curah
atau buah potong dalam kemasan yang dijual di supermarket.
o
“Tanggal
masuk toko” (sell by date)
Merupakan informasi yang berupa tanggal pada
saat produk memasuki gudang penyimpanan di toko atau tempat penjualan.
o
“Tanggal
pemajangan” (display date)
Merupakan informasi yang berupa tanggal pada
saat produk mulai dipajang di rak – rak atau display di toko atau tempat
penjualan.
C. Pengemasan
dan Reaksi Deteriorasi
Salah
satu fungsi pengemasan adalah memperlambat proses deteriorasi, yaitu dengan
mempertahankan stabilitas, kesegaran dan penerimaan konsumen dari suatu produk
pangan, atau untuk memperpanjang umur simpan. Stabilitas dihubungkan dengan
mudah tidaknya produk mengalami perubahan kimia, kesegaran dihubungkan dengan
rasa, bau dan aroma produk, sedangkan penerimaan mencakup keseluruhan aspek
dari mutu produk termasuk bentuk, tekstur dan harga.
Penyimpangan
suatu produk dari mutu awalnya disebut deteriorasi.
Produk pangan mengalami deteriorasi segera setelah diproduksi. Reaksi
deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap air,
cahaya, mikroorganisme, atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini dapat pula
diawali oleh hentakan mekanis seperti vibrasi, kompresi, dan abrasi.
Tingkat
deteriorasi produk dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan laju
deteriorasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan. Umur simpan adalah
waktu hingga produk mengalami suatu tingkat deteriorasi tertentu.
Reaksi
deteriorasi dapat disebabkan oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang akan
memicu reaksi ini di dalam produk berupa reaksi kimia, reaksi enzimatis atau
proses fisik yaitu penyerapan uap air atau gas dari sekelilingnya. Hal ini
menyebabkan perubahan terhadap produk meliputi perubahan tekstur, flavor,
warna, penampakan fisik, nilai gizi, maupun mikrobiologis.
Perubahan
pada tekstur akibat reaksi deteriorasi dapat berupa : pengempukan,
retrogradasi, stalling, perubahan kekentalan, pengendapan, perubahan stabilitas
dan pecahnya emulsi, serta hilangnya kerenyahan. Perubahan flavor merupakan
masalah yang sensitif di dalam produk pangan. Salah satu yang umum adalah
terjadinya ketengikan akibat hidrolisis dan oksidasi lemak yang menyebakan
terbentuknya komponen volatil yang menimbulkan off-flavor.
Ada
beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui makanan tersebut masih
dalam keadaan sehat apa sudah tercemar dan cara agar makanan tersebut tetap
terjaga kesegarannya yaitu :
a.
Susu
dan keju
Susu
kemasan bisa dikonsumsi selama seminggu setelah kemasan dibuka. Begitu juga
dengan keju. Setelah itu, akan tercium bau asam. Untuk menghindarinya, bungkus
kembali keju dengan aluminium foil, masukkan ke dalam kotaknya, lalu simpan di
lemari es. Jika keju sudah keburu asam, maka untuk menggunakannya kembali
potong bagian yang sudah terpapar udara.
b.
Daging
ayam, sapi, dan ikan, serta tahu
Ciri-cirinya
: daging berubah warna, berlendir, dan berbau menyengat. Tak ada jalan lain
untuk mempertahankannya. Anda harus segera membuangnya.Agar daging lebih tahan
lama, perhatikan cara menyimpannya. Daging yang kotor saat dibeli tak perlu
dicuci, tetapi potong saja bagian yang kotor. Jika tidak langsung dimasak, maka
masukkan daging ke dalam freezer. Di dalam freezer, bahan makanan ini akan
tahan hingga 1 bulan.
c.
Sayur
dan buah-buahan
Sayur
atau buah-buahan yang mulai layu masih bisa dikonsumsi. Namun, vitaminnya sudah
berkurang, dan rasanya berbeda. Jika sayur atau buah menjadi berjamur dan
berlendir, maka jangan dimakan.
d.
Makanan
kering
Makanan
kering seperti biskuit, roti kering, dan kue kering bisa bertahan 3-6 bulan jika
kemasannya belum dibuka. Namun ingat, roti tawar tidak bertahan lama meskipun
kemasannya belum dibuka. Rata-rata roti tawar hanya bertahan selama 1 minggu.
e.
Makanan
kaleng
Makanan
kaleng tahan paling lama 2 tahun. Namun, jangan berpatokan pada label kedaluwarsa
jika Anda melihat perbedaan dari yang biasa Anda ketahui. Misalnya, buah
kalengan berbau asam, airnya menjadi kental
dan berlendir, saat kaleng dibuka mengeluarkan gas, atau terdapat bibit jamur
(bulukan).
f.
Produk
Pasta dan Saus
Produk-produk pasta dan saus umumnya memiliki umur
simpan yang tinggi. Sebab, walaupun memiliki kadar air tinggi, aktivitas airnya
rendah. Hal ini yang menyebabkan sedikitnya jenis bakteri yang mampu menyerang
produk-produk pasta dan saus. Meskipun demikian, masih ada golongan mikroba
yang dapat menyerang, seperti kapang dan kamir. Peluang serangan kapang lebih
besar daripada khamir.
D. Kriteria Kadaluwarsa
Analisa
kuantitatif reaksi deteriorasi yang berlangsung pada produk selama proses
pengemasan dan penyimpanan dapat dilakukan dengan cara pengukuran terhadap
tingkat effek deterioratif yang berlangsung. Analisa yang dilakukan meliputi
analisa fisik, analisa kimia, serta analisa organoleptik. Perubahan tingkat
effek deterioratif kemudian dihubungkan dengan perubahan mutu produk atau lebih
tepat dengan istilah “usable quality”.
Usable quality akan menurun
selama penyimpanan, maka suatu saat nilainya akan mendekati titik tertentu di
mana kualitas yang diharapkan tersebut tidak dimiliki lagi oleh produk pangan
itu. Segera setelah selesai diproduksi, usable quality dari suatu
produk adalah 100%, kemudian setelah itu akan menurun selama penyimpanan, di
mana laju penurunannya dapat dihitung. Penurunan laju usable quality disebabkan
oleh reaksi deteriorasi yang berlangsung dalam produk, karena itu penurunan
nilai usable quality juga dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan
ekstrinsik
Usable quality dari produk
pangan dapat berupa atribut seperti tekstur, flavor, warna, penampakan khusus,
nilai gizi atau berupa standar mikrobiologis (jumlah dan jenis mikroba
tertentu).
Kriteria
kadaluwarsa beberapa produk pangan disajikan
pada tabel berikut.
Produk
|
Mekanisme Penurunan Mutu
|
Kriteria Kadaluarsa
|
Teh kering
Susu bubuk
Makanan laut kering beku
Makanan bayi
Makanan kering
Sayuran kering
|
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air dan
oksidasi
Oksidasi dan
fotodegradasi
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
|
Peningkatan kadar air
Pencoklatan dan laju
konsumsi O2
Aktivitas air
Konsentrasi asam
askorbat
Off flavor- perubahan warna
Pencoklatan
|
Kol kering
Tepung biji kapas
Tepung tomat
Biji-bijian
Keju
Bawang kering
Buncis hijau
Keripik kentang
Udang kering beku
Tepung Gandum
Minuman ringan
|
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air dan oksidasi
Oksidasi
Penyerapan uap air dan Oksidasi
Pelepasan CO2
|
Pencoklatan
Konsentrasi asam askorbat
Peningkatan kadar air
Tekstur
Pencoklatan
Konsentrasi klorofil
Laju oksidasi
Laju konsumsi O2
Konsentrasi karoten
Konsentarsi asam askorbat
Perubahan tekanan
|
Sumber: Herawati
(2008).
Faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya penurunan mutu pada produk pangan
menjadi dasar dalam menentukan titik kritis umur simpan. Titik kritis
ditentukan berdasarkan faktor utama yang sangat sensitif serta dapat
menimbulkan terjadinya perubahan mutu pangan selama distribusi, penyimpanan
hingga siap konsumsi (Herawati, 2008).
Penggunaan
indikator mutu dalam menentukan umur simpan (shelf
life) produk siap masak atau siap saji bergantung pada kondisi saat
penentuan umur simpan tersebut dilakukan (Kusnandar 2004).
Hasil percobaan
penentuan umur simpan hendaknya dapat memberikan informasi tentang umur simpan
pada kondisi ideal, umur simpan pada kondisi tidak ideal, dan umur simpan pada
kondisi distribusi dan penyimpanan normal dan penggunaan oleh konsumen. Suhu
ekstrim atau tidak normal akan mempercepat terjadinya penurunan mutu produk dan
sering diidentifikasi sebagai suhu pengujian umur simpan produk (Hariyadi,
2004). Pengendalian suhu, kelembapan,
dan penanganan fisik yang tidak baik dapat dikategorikan sebagai kondisi
distribusi pangan yang tidak normal. Kondisi distribusi dan suhu akan
menentukan umur simpan produk pangan (Herawati, 2008).
E. Perumusan
Model Umur Simpan
Penetapan
umur simpan dan parameter sensori sangat penting pada tahap penelitian dan
pengembangan produk pangan baru. Pada skala industri besar atau komersial, umur
simpan ditentukan berdasarkan hasil analisis di laboratorium yang didukung
hasil evaluasi distribusi di lapangan. Berkaitan dengan berkembangnya industri
pangan skala usaha kecil-menengah, dipandang perlu untuk mengembangkan
penentuan umur simpan produk sebagai bentuk jaminan keamanan pangan. Penentuan
umur simpan di tingkat industri pangan skala usaha kecil menengah sering kali
terkendala oleh faktor biaya, waktu, proses, fasilitas, dan kurangnya
pengetahuan produsen pangan (Herawati, 2008).
Salah satu
kendala yang sering dihadapi industri pangan dalam penentuan masa kedaluwarsa
produk adalah waktu. Pada praktiknya, menurut Hariyadi (2004), ada lima
pendekatan yang dapat digunakan untuk menduga masa kedaluwarsa, yaitu:
a. Nilai pustaka (literature value).
Nilai pustaka
sering digunakan dalam penentuan awal atau sebagai pembanding dalam penentuan
produk pangan karena keterbatasan fasilitas yang dimiliki produsen pangan.
b. Distribution turn over.
Distribution
turn over merupakan cara
menentukan umur simpan produk pangan berdasarkan informasi produk sejenis yang
terdapat di pasaran. Pendekatan ini dapat digunakan pada produk pangan yang
proses pengolahannya, komposisi bahan yang digunakan, dan aspek lain sama
dengan produk sejenis di pasaran dan telah ditentukan umur simpannya.
c. Distribution abuse test.
Distribution
abuse test merupakan cara
penentuan umur simpan produk berdasarkan hasil analisis produk selama
penyimpanan dan distribusi di lapangan, atau mempercepat proses penurunan mutu
dengan penyimpanan pada kondisi ekstrim.
d. Consumer complaints.
Pada penentuan
umur simpan berdasarkan komplain konsumen, produsen menghitung nilai umur
simpan berdasarkan komplain atas produk yang didistribusikan.
e. Accelerated Shelf Life Testing (ASLT).
Untuk
mempersingkat waktu, penentuan umur simpan dapat dilakukan dengan ASLT di
laboratorium.
Menurut
Floros (1993), umur simpan produk pangan dapat diduga dan ditetapkan waktu
kadaluwarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpangan produk pangan
yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated
Storage Studies (ASS).
1) Perumusan Berdasarkan ESS
(Extended Storage Studies)
ESS
sering juga disebut metoda konvensional, adalah penentuan tanggal kadaluwarsa
dengan jalan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil
dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya (usable quality)
hingga mencapai tingkat mutu kadaluwarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun
pada awal-awal penemuan dan penggunaannya, metoda ini dianggap memerlukan waktu
panjang dan analisa parameter mutu yang relatif banyak. Dewasa ini metoda ESS
sering digunakan untuk produk yang mempunyai waktu kadaluwarsa kurang dari 3
bulan. Metoda ESS dapat juga diterapkan pada produk yang mempunyai waktu
kadaluwarsa lebih dari 3 bulan dengan cara digunakan bersamaan dengan metode
ASS dengan bantuan Weibull Hazard Analysis, dengan demikian akan
dapat menyingkat waktu penentuan waktu kadaluwarsa.
Menurut
Gacula dan Kubala (1975) untuk melakukan penelitian umur simpan dalam keadaan
yang sebenarnya (tidak terakselerasi = konvensional) harus dibuat rancangan percobaan
yang sesuai. Mereka membagi bentuk desain percobaan penentuan kadaluwarsa
menjadi 3 jenis percobaan :
a)
Partially Staggered Design
b)
Staggered Design
c)
Completely Staggered Design
Pada
penerapan partially staggered design dapat dilakukan pengolahan
data menggunakan regresi sederhana. Sedangkan pengolahan data staggered
design dan completely staggered design dilakukan
menggunakan Weibull Hazard Analysis. Ketiga jenis desain tersebut
dapat menggunakan data subyektif (hasil penilaian dengan indera) maupun data
obyektif (hasil pengukuran fisik, kimia atau mikrobiologis). Hal ini sengaja
ditekankan untuk membedakannya dengan metoda akselerasi yang menggunakan data
obyektif, khususnya pada metoda semi empiris.
2) Perumusan Berdasarkan ASS
(Accelerated Storage Studies )
ASS
menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat (accelerated)
reaksi deteriorasi (penurunan usable quality) produk pangan.
Kerusakan yang berlangsung dapat diamati dengan cermat dan diukur. Hal ini
dapat dilakukan dengan mengontrol semua lingkungan produk dan mengamati
parameter perubahan yang berlangsung. Keuntungan dari metoda ASS ini
membutuhkan waktu pengujian yang relatif singkat (3 sampai 4 bulan), namun
tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi.
Metoda
Akselerasi pada dasarnya adalah metoda kinetik yang disesuaikan untuk
produk-produk pangan tertentu. Model yang diterapkan pada penelitian ini
menggunakan dua cara pendekatan yaitu :
a)
Pendekatan Kadar Air Kritis
b)
Pendekatan Semi Empiris
Pendekatan
Kadar Air Kritis dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang
diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktifitas air
sebagai kriteria kadaluwarsa. Pada metoda ini kondisi lingkungan penyimpanan
memiliki kelembaban relatif (relative humidity) yang ekstrim. Produk
pangan kering yang disimpan akan mengalami penurunan mutu akibat penyerapan uap
air. Persamaan matematika merupakan alat bantu yang digunakan dan pada dasarnya
persamaan ini adalah deskripsi kuantitatif dari sistem yang terdiri dari
produk, bahan pengemas, dan lingkungan.
Model
persamaan matematika pada Pendekatan Kadar Air Kritis ini diturunkan dari hukum
difusi Fick unidireksional. Terdapat 4 jenis model matematik yang sering
digunakan, yaitu : Model Heiss dan Eichner (1971), Model Labuza (1982), Model
Rudolph (1986) dan Model Waktu Paruh (1986).
Pendekatan
Semi Empiris dimulai dengan menganggap bahwa perubahan mutu produk pangan akan
mengikuti pola reaksi :
A --> Produk Intermediat --> B
Dalam
keadaan ini konsentrasi mutlak A maupun B tidak dianalisa akan tetapi yang
diukur adalah perubahan konsentrasi produk intermediat terhadap waktu.
Perubahan konsentrasi ini dianggap proporsional terhadap penurunan konsentrasi
produk A maupun peningkatan konsentrasi produk B. Penetapan umur simpan dengan
pendekatan semi empiris ini menggunakan bantuan persamaan Arrhenius.
Kerusakan
produk pangan dapat disebabkan oleh adanya penyerapan air oleh produk selama
penyimpanan. Kerusakan produk dapat diamati dari penurunan kekerasan atau
kerenyahan, dan atau peningkatan kelengketan atau penggumpalan. Laju penyerapan
air oleh produk pangan selama penyimpanan dipengaruhi oleh tekanan uap air
murni pada suhu udara tertentu, permeabilitas uap air dan luasan kemasan yang
digunakan, kadar air awal produk, berat kering awal produk, kadar air kritis,
kadar air kesetimbangan pada RH penyimpanan, dan slope kurva isoterm sorpsi
air, faktor-faktor tersebut diformulasikan oleh Labuza (1982) menjadi model matematika dan digunakan sebagai model
untuk menduga umur simpan. Model matematika ini dapat diterapkan khususnya
untuk produk pangan yang memiliki kurva isotermis sorpsi air berbentuk sigmoid.
Labuza (1982) memformulasikan persamaan penentuan umur simpan sebagai berikut:
Keterangan:
Θ = Waktu perkiraan umur simpan
(hari)
Me = Kadar air keseimbangan produk (g H2O/g
padatan)
Mi = Kadar air awal produk (g H2O/g
padatan)
b = Slove kurva sorpsi isotermis
Mc = Kadar air kritis (g H2O/g
padatan)
A =
Luas permukaan kemasan (m2)
Ws = Berat kering produk dalam kemasan
(g padatan)
Po = tekanan uap jenuh (mmHg)
a. Aktivitas Air (aw)
Kadar air dan konsentrasi larutan hanya
sedikit berhubungan dengan sifat-sifat air yang terdapat dalam bahan pangan dan
tidak dapat digunakan sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan
simpan. Karena itulah muncul istilah aktivitas air (water activity, aw) yang digunakan untuk menjabarkan
air yang tidak terikat atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang
reaksi biologis atau kimiawi (Syarief dan Halid, 1993).
Aktivitas
air (aw) merupakan faktor utama yang mempengaruhi keamanan pangan
dan kualitas pangan. Istilah aktivitas air digunakan untuk menjabarkan air yang
tidak terikat dalam bahan pangan. Kadar air dan aktivitas air berpengaruh besar
terhadap laju reaksi kimia dan laju pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan yang
pada akhirnya berpengaruh dalam menentukan mutu dan umur simpan produk pangan
selama penyimpanan (De man, 2007). Kadar air dan aktivitas air akan
mempengaruhi sifat-sifat fisik dan sifat-sifat fisiko-kimia,
perubahan-perubahan kimia, kerusakan mikrobiologis dan perubahan enzimatis terutama
pada makanan yang tidak diolah (Fennema, 1985).
Secara matematis Labuza (1982) diacu dalam
Arfah (2007) mendefinisikan bahwa aktivitas air (aw) dari suatu
bahan pangan sebagai perbandingan antara tekanan uap air pada bahan pangan (Pf)
dengan tekanan uap air murni (Po) pada suhu yang sama:
Aktivitas air ini juga dapat didefinisikan sebagai kelembaban
relatif keseimbangan (Equilibrium Relatif
Humidity, ERH) dibagi dengan 100 (Labuza, 1982 diacu pada Arpah, 2007):
Aktivitas air (aw) menunjukkan sifat bahan itu sendiri,
sedangkan ERH menggambarkan sifat lingkungan di sekitarnya yang berada dalam
keadaan seimbang dengan bahan tersebut. Dengan kata lain, peranan air dalam
bahan pangan biasanya dinyatakan dalam kadar air dan aktivitas air sedangkan
peranan air di udara dinyatakan dalam kelembaban relatif dan kelembaban mutlak.
Bertambah atau berkurangnya kandungan air suatu bahan pangan pada suatu keadaan
lingkungan sangat tergantung pada ERH lingkungannya (Dasa, 2011).
b. Kadar Air Keseimbangan (Moisture Equilibrium, Me)
Kadar
air keseimbangan suatu bahan didefinisikan sebagai tingkat kadar air dari bahan
tersebut setelah berada pada suatu kondisi lingkungannya dalam periode waktu
yang lama (Brooker et al., 1992).
Sedangkan menurut Heldman dan Singh (1981), kadar air kesetimbangan suatu bahan
adalah kadar air bahan tersebut saat tekanan uap air dari bahan tersebut dalam
kondisi seimbang dengan lingkungannya, sedangkan kelembaban relatif pada saat
terjadinya kadar keseimbangan tersebut disebut kelembaban relatif keseimbangan.
Kadar
air keseimbangan berguna untuk menentukan bertambah atau berkurangnya kadar air
pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu. Penentuan kadar air keseimbangan
dapat menggunakan dua metode yaitu, metode statistik dan metode dinamik. Pada
metode statistik, kadar air keseimbangan bahan yang diperoleh pada keadaan
udara diam. Metode statistik digunakan untuk keperluan penyimpanan karena pada
umumnya udara di sekitar bahan relatif tidak bergerak. Sedangkan pada metode
dinamik, kadar air keseimbangan bahan diperoleh pada udara bergerak. Metode ini
biasanya digunakan pada proses pengeringan (Brooker et al., 1992).
c.
Sorpsi Isotermis
Karakteristik hidratasi
bahan pangan diartikan sebagai karakteristik fisik yang meliputi interaksi
antara bahan pangan dengan molekul air di udara sekitarnya. Sedangkan proses
yang terjadi selama penyimpananan sampel di berbagai RH adalah proses absorpsi
dan desorpsi. Absorpsi adalah proses penyerapan uap air oleh bahan dari
lingkungan dan desorpsi adalah pelepasan uap air bahan ke lingkungan. Secara
umum sifat-sifat hidratasi ini dapat digambarkan dalam sebuah kurva isotermis,
yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air bahan pangan dengan
kelembaban relatif seimbang ruang tempat penyimpanan atau aktivitas air (aw)
pada suhu tertentu (Syarief dan Halid, 1993). Hubungan antara keadaan air dalam
bahan pangan dan aktivitas air disajikan pada tabel berikut.
Tabel Hubungan
antara aktivitas air (aw) dan keadaan fisik air dalam bahan pangan
aw
|
Keadaan air
di dalam bahan pangan
|
0,00 – 0,35
|
Adsorpsi
air pada lapisan tunggal (monolayer)
|
0,35 – 0,60
|
Adsorpsi
air pada lapisan tambahan (multilayer)
|
0,60 – 1,00
|
Air
terkondensasi pada kapiler/pori-pori yang dilanjutkan dengan disolusi padatan
terlarut
|
Sumber: Gunasekharan dan John (1993)
Pengetahuan tentang sorpsi
isotermis suatu bahan pangan akan sangat membantu dalam penentuan jenis bahan
pengemas yang dibutuhkan dan memprediksi karakteristik kondisi penyimpanan yang
sesuai serta masa simpannya (Mir dan Nath, 1995) sehingga pertumbuhan mikroba
yang menyebabkan kerusakan pada bahan pangan dapat dihindari (Boente et al., 1996). Selain itu berguna juga
untuk menghitung waktu pengeringan, memprediksi kondisi keseimbangan dalam
suatu campuran produk dengan nilai aw yang berbeda (Chirife dan
Iglesias, 1978).
d. Model Persamaan Sorpsi Isotermis
Model
matematika mengenai sorpsi isotermis telah banyak ditemukan oleh para ahli.
Namun model-model matematika yang dikembangkan pada umumnya tidak dapat
mencakup keseluruhan kurva sorpsi isotermis. Kesesuaian tiap model sorpsi
isotermis produk pangan tergantung pada kisaran aw dan bahan
penyusun produk (Arpah, 2007).
Beberapa kendala yang dihadapi dalam menyusun
suatu persamaan yang dapat menjelaskan kurva sorpsi isotermis pada keseluruhan
selang aw yang ada dan dapat diaplikasikan untuk berbagai jenis
bahan pangan menurut Chirife dan Iglesias (1978) adalah sebagai berikut:
1) Perubahan
aw pada bahan pangan dipengaruhi oleh kombinasi berbagai macam
faktor yang masing-masing mendominasi dalam selang-selang aw
berbeda.
2) Sorpsi
isotermis suatu bahan pangan menggambarkan kemampuan higroskopis yang kompleks
dan dipengaruhi oleh interaksi baik fisik maupun kimia antara komponen-komponen
bahan pangan tersebut yang diinduksi oleh proses pemanasan atau perlakuan awal
lainnya.
3) Pada
saat bahan pangan menyerap air dari lingkungannya, bahan tersebut pada umumnya
akan mengalami perubahan, baik perubahan fisik maupun perubahan kimia dan
lainnya.
Penggunaan
model sorpsi isotermis juga sangat bergantung dari tujuan pemakaian, jika ingin mendapatkan kemulusan kurva yang
tinggi maka model yang sederhana dan lebih sedikit jumlah tetapannya yang
dievaluasi akan lebih mudah penggunaannya (Labuza, 1982).
Ada beberapa model matematika yang umumnya
digunakan untuk menentukan kurva sorpsi isotermis bahan pangan, yaitu model
Henderson, Caurie, Oswin, Clayton, dan Hasley. Secara empiris, Henderson
mengemukakan persamaan yang menggambarkan hubungan antara kadar air
kesetimbangan bahan pangan dengan kelembaban relatif ruang simpan. Persamaan
ini berlaku untuk bahan pangan pada semua aktivitas air. Model Caurie berlaku
untuk kebanyakan bahan pangan pada selang aw 0,0-0,85 dan model
Oswin berlaku untuk bahan pangan pada RH 0-85%. Model Oswin juga sesuai bagi
kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid. Sedangkan model Chen Clayton
berlaku untuk bahan pangan pada semua aktivitas air. Pada percobaanya Hasley
mengemukakan suatu persamaan yang dapat menggambarkan proses kondensasi pada
lapisan multilayer. Persamaan
tersebut dapat digunakan untuk bahan makanan dengan kelembaban relatif 10-81%
(Arpah 2007). Adapun persamaan dari model-model tersebut disajikan pada Tabel berikut.
Tabel model-model persamaan sorpsi isotermis
bahan pangan
Model
|
Persamaan
|
Henderson
Caurie
Oswin
Chen Clayton
Hasley
|
1-aw = exp (-KMen)
ln Me = ln P1 – P2*aw
Me =P1[aw/(1-aw)]P2
aw = exp [-P1/exp(P2*Me)]
aw=exp [-P1/(Me)P2]
|
Sumber: Dasa, (2011)
F. Penyakit Akibat Makanan
Penyakit
akibat makanan diklasifikasikan sebagai infeksi,
keracunan atau penginfeksian melalui racun.
Infeksi penyakit akibat makanan terjadi ketika seseorang makan makanan
yang tercemar patogen, yang kemudian berkembang dalam usus dan menyebabkan
penyakit. Biasanya gejala tidak segera tampak.
Keracunan makanan terjadi ketika seseorang makan makanan yang mengandung
racun yang dihasilkan oleh patogen yang ditemukan dalam makanan atau yang
disebabkan oleh pencemaran bahan kimia. Racun tersebut mungkin bagian alami
dari tumbuhan atau hewan yang dikonsumsi. Biasanya gejala dari keracunan
makanan timbul dengan cepat, sekitar beberapa jam kemudian.
Penginfeksian
melalui racun disebabkan ketika seseorang makan
makanan yang mengandung patogen yang kemudian memproduksi racun dalam usus yang
kemudian menyebabkan penyakit.
Mikro Organisme
Berbahaya
Terdapat
empat jenis mikro-organisme yang dapat mencemari makanan dan menyebabkan
penyakit akibat makanan yaitu bakteri, virus, parasit dan jamur.
Mikro-organisme
ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu mikro-organisme penyebab pembusukan
dan patogen.
Jamur adalah mikro-organisme penyebab pembusukan. Pada kemunculannya akan
menimbulkan bau dan rasa yang tidak sedap dan biasanya tidak menyebabkan
penyakit. Patogen seperti Salmonella spp. dan virus hepatitis A menyebabkan
penyakit ketika terjangkit. Tidak seperti mikro-organisme penyebab pembusukan,
patogen tidak terlihat, berbau dan berasa dalam makanan.
Penyebab
kebusukan makanan (spoilage)
Adanya
kebusukan pada makanan dapat disebabkan oleh beberapa jenis bakteri yang tumbuh
dalam makanan tersebut. Beberapa di antara mikroorganisme dapat mengubah rasa
beserta aroma dari makanan sehingga dianggap merupakan mikroorganisme pembusuk.
Dalam pembusukan daging, mikroorganisme yang menghasilkan enzim proteolitik
mampu merombak protein-protein. Pada proses pembusukan sayur dan buah,
mikroorganisme pektinolitik mampu merombak bahan-bahan yang mengandung pektin
yang terdapat pada dinding sel tumbuhan (Tarigan, 1988). Mikroorganisme seperti
bakteri, khamir (yeast) dan kapang (mould) dapat menyebabkan perubahan yang
tidak dikehendaki pada penampakan visual, bau, tekstur atau rasa suatu makanan.
Mikroorganisme ini dikelompokkan berdasarkan
tipe aktivitasnya, seperti proteolitik, lipolitik, dll. Atau berdasarkan
kebutuhan hidupnya seperti termofilik, halofilik, dll.
Penyebab keracunan makanan (food borne disease)
Kusnadi,
dkk (2003) menjelaskan bahwa bakteri penghasil racun (enterotoksin atau
eksotoksin) dapat mencemari badan air, misalnya spora Clostridium perfringens,
C. Botulinum, Bacillus cereus, dan Vibrio parahaemolyticus. Spora dapat masuk
ke dalam air melalui debu/tanah, kotoran hewan, dan makanan-limbah. Jika
makanan atau minuman dan air bersih tercemari air tersebut, maka dalam keadaan
yang memungkinkan, bakteri tersebut akan mengeluarkan racun sehingga makanan
atau minuman mengandung racun dan bila dikonsumsi dapat menyebabkan keracunan
makanan. Bahkan menurut Dwidjoseputro (2005) pada makanan yang telah
dipasteurisasi pun juga dapat mengandung racun (toksin) . Makanan yang telah
dipasteurisasi kemudian terus menerus disimpan di dalam kaleng pada temperatur
kamar, dapat mengandung racun yang berasal dari Clostridium botulinum.
Spora-spora dari bakteri ini tidak mati dalam proses pasteurisasi. Dalam
keadaan tertutup (anaerob) dan suhu yang menguntungkan, maka spora-spora
tersebut dapat tumbuh menjadi bakteri serta menghasilkan toksin. Racun yang
dihasilkan tidak mengganggu alat pencernaan, melainkan mengganggu urat saraf
tepi.
Bakteri Patogen
Terdapat banyak bakteri patogen
yang membahayakan kesehatan manusia. Berikut ini beberapadi antaranya.
1) Escherichia coli
E. coli merupakan mikroflora
alami yang terdapat pada saluran pencernaan manusia dan hewan. Beberapa
galur E. coli yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia adalah enterotoksigenik,
enterohaemorrhagik, enteropatogenik, enteroinuasiue, dan enteroagregatif.
Enterotoksigenik E .coli merupakan
penyebab diare pada wisatawan yang mengunjungi negara yang
standar higienitas makanan dan air minum berbeda dari negara asalnya.
Enterohaemorrhagic
E. coli
0157:H7 akhir-akhir ini diketahui merupakan bakteri patogen penyebab foodborne
diseases. Kontaminasi enterohaemorrhagic E . Coli 0157: H7 yang
banyak ditemukan pada sayuran dapat terjadi akibat penggunaan kotoran sapi
sebagai pupuk.
2) Staphylococcus aureus
Staphylococcus
aureus terdapat pada rongga hidung, kulit, tenggorokan, dan saluran pencernaan manusia
dan hewan. Bahan makanan yang disiapkan menggunakan tangan, seperti penyiapan sayuran
mentah untuk salad, berpotensi terkontaminasi S. aureus.
Jenis makanan
lain yang sering terkontaminasi oleh S. aureus adalah daging dan produk daging,
ayam, telur, salad (telur, tuna, ayam, kentang, dan makaroni), produk bakeri,
pastry, pai, sandwich, serta susu dan produk susu.
Keracunan oleh S.
aureus diakibatkan oleh enterotoksin yang tahan panas yang dihasilkan oleh
bakteri tersebut.
3) Salmonella
Salmonella bersifat patogen pada
manusia dan hewan lainnya, dan dapat menyebabkan demamenterik dan
gastroenteritis. Diketahui terdapat 200 jenis dari 2.300 serotip Salmonella
yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia.
4) Shigella
Shigella merupakan
bakteri patogen di usus manusia dan primata penyebab shigella
(disentri basher). Makanan yang sering terkontaminasi Shigella adalah
salad, sayuran segar (mentah), susu dan produk susu, serta air yang
terkontaminasi. Sayuran segar yang tumbuh pada tanah terpolusi dapat menjadi
faktor penyebab penyakit, seperti disentri basher atau shigellosis yang
disebabkan oleh Shigella. Menurut USFDA (1999),diperkirakan 300.000 kasus
shigellosis terjadi di Amerika Serikat setiap tahun.
5) Vibrio cholera
Sebagian
besar genus Vibrio ditemukan di perairan air tawar atau air laut, serta
merupakan bakteri patogen dalam budi daya ikan dan udang. Spesies Vibrio
yang termasuk patogen adalah V. cholerae, V. parahaemolyticus, dan V.
vulvinicus.
Spesies V .
chloreae dan V. arahaemolyticus merupakan sumber kontaminasi silang antara buah
dan sayuran mentah, sedangkan V. vulvinicus penyebab infeksi pada manusia.
6) Clostridium
botulinum
Clostiridium
botulinum merupakan bahaya utama pada makanan kaleng karena dapat menyebabkan
keracunan botulinin. Tanda-tanda keracunan botulinin antara lain tenggorokan kaku,
mata berkunang-kunang, dan kejang-kejang yang menyebabkan kematian karena
sukar bernapas. Biasanya bakteri ini tumbuh pada makanan kaleng yang
tidak sempurna pengolahannya atau pada kaleng yang bocor, sehingga makanan
di dalamnya terkontaminasi udara dari luar.
Botulinin
merupakan sebuah molekul protein dengan daya keracunan yang sangat kuat. Satu mikrogram
botulinin sudah cukup mematikan manusia. Untungnya karena merupakan
protein, botulinin bersifat termolabil dan dapat diinaktifkan dengan
pemanasan pada suhu 80 derajat Celsius selama 30 menit. Garam dengan konsentrasi
8 persen atau lebih serta pH 4,5 atau kurang dapat menghambat pertumbuhan C.
botulinum, sehingga produksi botulinin dapat dicegah.
7) Pseudomonas
cocovenenans
Senyawa
beracun yang dapat diproduksi oleh Pseudomonas cocovenenans adalah
toksoflavindan asam bongkrek. Kedua senyawa beracun tersebut diproduksi di
dalam tempe bongkrek, suatu tempe yang dibuat dengan bahan baku utama ampas
kelapa. Asam bongkrek bersifat sangat fatal dan biasanya merupakan penyebab
kematian.
Hal ini disebabkan toksin mengganggu
metabolisme glikogen dengan memobilisasi glikogen dari hati, sehingga terjadi
hiperglikemia yang kemudian berubah menjadi hipoglikemia. Penderita hipoglikemia
biasanya meninggal empat hari setelah mengonsumsi tempe bongkrek yang beracun.
Kapang dan Khamir
Kapang dapat menyebabkan
kerusakan pada berbagai macam makanan dalam kondisi aw, pH, dan suhu
rendah. Jenis kapang yang dapat merusak makanan di antaranya Aspergillus, Penicillium, Botrytis,
Alternaria, dan Mucor. Kerusakan sayuran kebanyakan disebabkan
kapang seperti Alternaria, Botrytis, dan Phytophtora, atau bakteri yang
berasal dari genus Erwinia.
Senyawa beracun yang diproduksi oleh
kapang disebut mikotoksin. Khamir umumnya diklasifikasi berdasarkan sifat-sifat
fisiologisnya, dan tidak ada perbedaan morfologi seperti halnya pada kapang.
Buah-buahan dan sayuran segar mengandung bermacam-macam flora mikroorganisme,
di antaranya kapang dan khamir (oksidatif, fermentatif, dannonfermentatif). Kapang
dan khamir dapat terbawa melalui tanah, permukaan tanaman, permukaan daun,
hujan, insekta, dan lain-lain. Khamir selain menguntungkan juga menyebabkan
kerusakan pada makanan.
Source:
No comments:
Post a Comment